Selasa, 22 Februari 2011

Pantun dalam Sastra Sunda
Pada zaman Hindu (± 400 M), ada tiga dekade alam kerajaan yang pada perkembangannya memperkaya khazanah sastra Sunda. Dimulai dari Alam Tarumanegara (± 400 M), dilanjutkan Alam Galuh (± 1030 M), dan Alam Padjadjaran (± 1333 M). Pada masa Alam Padjadjaran inilah bentuk kesusastraan Sunda (lisan) baru muncul, dan salah satunya adalah cerita-cerita pantun.
Menurut Ajip Rosidi, cerita pantun dalam sastra Sunda merupakan semacam cerita yang dideklamasikan oleh seorang juru pantun, yaitu dengan diiringi kecapi yang bentuknya seperti perahu.
Sedangkan H. Hasan Mustofa dalam bab “Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta” mengemukakan bahwa pantun adalah bentuk seni asli Sunda yang terbagi atas susunan: Rajah (mulai cerita) – Nataan (deskripsi cerita) – Lelucon Rajah. Dalam pantun Sunda ada istilah cerita pantun dan mantunkeun (membawakan pantun oleh juru pantun).
F.S. Eringa (1994) memberi pengertian tentang batasan cerita pantun Sunda, yakni “Berupa legenda yang mengandung unsur kesejarahan yang kebanyakan berisi berbagai rangkaian peristiwa atau petualangan para bangsawan dalam perebutan kekayaan dan wanita, yang pada akhirnya jika mereka menghadapi kesulitan yang luar biasa selalu diselesaikan dengan pertolongan daya supranatural.”
Pengertian itu mungkin didasarkan pada isi cerita yang banyak menceritakan tokoh bangsawan yang mempunyai kesaktian dan berbagai keajaiban lainnya.



Contoh Cerita Pantun Sunda
Cerita pantun Sunda yang paling dikenal di antaranya cerita Lutung Kasarung, Mundinlaya Dikusuma, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Budak Manjor, Nyi Pohaci Sanghiyang Sri, Panggung Karaton, dan Kembang Panyarikan. Hal yang perlu diketahui adalah bahwa pantun Sunda termasuk kelompok sekar atau nyanyian. Sebagai contoh, berikut kutipan pantun Sunda yang diambil dari cerita Lutung Kasarung.
Rajah (pembuka cerita Lutung Kasarung)
Bul kukus mendung ka manggung,
ka manggung neda papayung,
ka dewata neda maap,
ka pohaci neda suci,
kuring rek diajar ngidung,
nya ngidung carita pantun,
ngahudang carita wayang,
nyilokakeun nyukcruk laku,
nyukcruk laku nu bahayu,
mapay lampah nu baheula,
lulurung tujuh ngabandung,
kadalapan keur disorang,

Nataan (deskripsi cerita Panggung Karaton)
Lugayna mah tina pangligaran,
gingsir tina pangcalikan,
gandeung menak nu gandang,
hariring mantra nu ginding,
sora milawung kancana,
ti katuhu mani tanding ratu,
ti kenca tandang dewata,